Minggu, 18 Januari 2009

Dunia Tanpa Senyum

DUNIA TANPA SENYUM


Tersenyum. Aku hampir lupa dengan hal yang satu itu. Bahkan nyaris aku tak pernah melakukannya lagi. Matikah hatiku? Kesibukan telah menenggelamkanku dalam dunia lain. Di duniaku ini, tak ada protes yang harus kutanggapi sebab aku lah yang berkuasa di sini. Aku bebas melakukan apa saja sesukaku di duniaku. Meja, kursi, komputer, dan setumpuk buku. Merekalah teman-teman di duniaku yang sekarang. Hampir tiap hari aku bersama mereka, dan aku menikmatinya.. Tak ada senyum di sini karena teman-temanku hanyalah benda mati yang tak bisa tersenyum.
”Jangan terlalu serius, Fir, cobalah untuk santai,” kata teman kantorku di suatu ketika. Seperti biasa, teman-teman selalu berlagak peduli padaku.
”Otak juga perlu istirahat, jangan diperas terus,” tambah yang lainnya.
Beristirahat. Saran yang yang bagus. Kucoba untuk melakukannya. Tak ada wajah manis, apalagi senyum yang mengambang di bibirku sebagai imbalan atas saran baik mereka. Aku tak biasa melakukannya.
Mataku terpejam menikmati alunan musik dari komputer di ruanganku. Lagi-lagi aku tenggelam dalam dunia tanpa senyumku, meski kali ini kegiatanku itu kunamai istirahat. Kutolak ajakan teman-teman untuk pergi ke kantin. Aku malas bergabung dengan mereka, hanya membuang-buang waktu untuk sesuatu yang menurutku tak perlu, lagi pula aku sudah membawa bekal sendiri untuk makan siangku. Sempat kutangkap raut dongkol dari wajah salah seorang temanku atas penolakanku.

***

Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya. Pintu rumah tak terkunci. Rupanya adikku sudah pulang duluan. Suara musik yang memekakkan telinga terdengar dari arah kamar adikku. Kuhela napas panjang. Aku hapal betul dengan kebiasaan adik tunggalku itu. Pasti saat ini ia sedang asyik berjingkrak-jingkrak di tempat tidurnya. Gara-gara kebiasaannya itu, hampir tiap bulan ia ganti kasur. Sungguh kebiasaan yang sia-sia menurutku.
Dugaanku tak meleset. Dari balik pintu kamar yang sengaja kubuka, kulihat adikku dengan penampilannya yang acak-acakkan sedang melompat-lompat tak karuan.
Klik... jariku dengan manisnya mendarat di kabel penyambung listik. Sambungan terlepas, musik terhenti, jingkarakan pun usai.
”Kalau membunyikan kaset itu jangan keras-keras, pusing!” kataku ketus.
Adikku hanya bisa merengut tanpa kuperbolehkan protes atas ulahku.

***

Sore yang membosankan. Hujan begitu lebat di luar. Dari tadi aku mondar-mandir di kamar. Aku tak bisa masuk ke duniaku karena temanku tak lengkap. Komputer di rumah rusak dan sekarang sedang diperbaiki. Ketergantunganku memang sudah sedemikian besar pada benda yang satu itu. Sehari tanpanya sudah membuatku linglung.
Aku terdiam mencari cara untuk mengusir kejenuhan. Rasanya tak terlalu menyenangkan jika menghabiskan waktu dengan membaca buku yang sebenarnya sudah kubaca. Kulirik jam yang menggantung di dinding. Pukul 17.00 wita.
Kudengar cekikikan adikku di ruang tengah. Dari balik pintu kamar, kulihat ia sedang asyik menonton televisi. Hatiku tergerak untuk menghampirinya, barangkali aku dapat mengusir kejenuhan dengan bergabung bersamanya.
Sempat kulihat adikku melihat ke arahku. Perasaan aneh tersirat dari matanya. Wajar, memang bukan hal yang lazim aku duduk di depan pesawat televisi menyaksikan acara hiburan.
”Siaran beritanya masih satu jam lagi, Kak,” katanya sambil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
”Iya, aku tahu,” kataku datar. Tak ada wajah manis, apalagi senyum yang kuhadiahkan untuknya.
Kucoba untuk menikmati apa yang sekarang ada di hadapanku.
”Acara yang membosankan,” keluhku dalam hati. Aku heran kenapa adikku bisa tertawa, padahal sejauh yang kulihat acaranya sama sekali tidak lucu.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Bukannya hiburan yang kudapat, malah kepalaku jadi pusing gara-gara mendengar tawa adikku.

***

Benarkah aku sekarang terlihat lebih tua?
Kata-kata temanku kembali terngiang-ngiang di telingaku.
”Belajarlah untuk tersenyum, Fir. Biasanya orang yang jarang tersenyum itu akan cepat tua,” katanya setengah bercanda. Aku tahu kalau ia hanya bercanda, tapi kata-katanya itu begitu membekas di hatiku.
”Menurut dokter, orang yang murah senyum akan jauh dari stres karena ia terhindar dari penyakit ketegangan. Jantungnya akan berdetak normal. Peredaran darahnya akan mengalir dengan baik. Senyum dapat mendorong hati menjadi ceria dan membuat awet muda,” lanjutnya lagi panjang lebar.
”Benar-benar sok tahu,” gumamku lirih.
”Bahkan aku pernah mendengar di pengajian bahwa sesungguhnya sedekah yang paling ringan itu adalah menebarkan senyum. Tak sulit dan tak perlu modal.” Sandra begitu bersemangat menceramahi aku.
”Baru sekali kamu ikut pengajian, sudah bisa ceramah sekarang, San,” kataku setengah menyindir.
”Mau tersenyum atau tidak, itu urusanku,” lanjutku lagi. Aku tak suka kalau ada orang lain yang mengaturku.
”Jangan mencampuri urusan orang, urus saja urusanmu sendiri!” Aku beranjak dari hadapannya dengan perasaan dongkol.
Kuamati wajahku di cermin. Kutemukan beberapa kerutan di sana. Kuhela napas panjang. Apakah yang dikatakan Sandra tadi benar?

***

Hari ini aku tak bisa ke kantor. Gigiku sakit. Gusinya bengkak dan meradang. Semalaman aku tak bisa tidur gara-gara menahan sakit. Obat dari dokter sudah kutelan, tapi belum ada hasilnya. Aku merasa benar-benar tersiksa. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali berbaring sambil menahan sakit. Sekarang baru kurasakan betapa besarnya anugerah mempunyai mulut yang sehat.
Ya Allah, inikah peringatan-Mu padaku? Maafkan hamba yang selama ini lupa mensyukuri mulut yang telah Kau titipkan kepadaku. Selama ini aku memang jarang sekali tersenyum. Jangankan dengan orang yang berpapasan denganku di jalan, dengan orang-orang terdekatku saja aku jarang sekali tersenyum. Bahkan, tak jarang pula aku menyakiti orang-orang di sekelilingku dengan ucapanku.
Sayup kudengar senandung nasyid dari televisi di luar kamar. Entah siapa yang membunyikannya, yang jelas isinya telah menggugah perasaanku.

.......
Senyuman... Senyuman
Senyum Tanda Mesra
Senyum Tanda Sayang
Senyumlah Sedekah Yang Paling Mudah
Senyum Di Waktu Susah
Tanda Ketabahan
Senyuman Itu Tanda Keimanan
Senyumlah Senyumlah Senyumlah Senyumlah
.....

Aku ingin belajar tersenyum. Semoga masih ada kesempatan untukku melakukannya.
Ya Allah, terima kasih sudah mengingatkanku. Sungguh Engkau Maha Pemurah sehingga melalui mulut yang kecil ini Kau jadikan sebagai ladang ibadahku.

-----ooo----
(Salam untuk teman-teman FLP Banjarmasin)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

malybhr

Anonim mengatakan...

Segera daftarkan BLOG kamu di http://aruhblogger.com di Register Peserta.

Salam Blogger

Soulharmony
085251534313 / 081952954056 / 7718393