Selasa, 25 November 2008

Senin, 03 November 2008

MENANTI MAWAR PUTIH

Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya?

Kututup lembar kesekian dari buku harian merah jambu yang ada di tanganku. Sekilas mataku masih sempat menangkap sederet kata cinta di halaman depan diari itu. Untuk anugerah terindah dalam hidupku. Entah ini kali yang keberapa aku begitu tersanjung membaca kata-kata itu.

“Mid, makan dulu, nanti masuk angin.”

Suara lembut bik Ais membuyarkan lamunanku. Sepiring bubur lengkap dengan satu gelas susu yang barusan diantar perawat rumah sakit diletakkannya di atas meja kecil di tempat tidurku.

“Terima kasih, Bik”

Senyum tulus mengembang dari bibirnya.

“Bisa makan sendiri?” Bik Ais berusaha meyakinkan

“Bisa, Bik,” jawabku singkat.

Menu harian yang sudah membuatku jemu. Kusendokkan bubur itu perlahan ke mulutku. Hangat. Dapat kurasakan bik Ais yang terus mengawasiku.

Sekilas kulihat tetesan air bening yang merembes dari matanya. Kutahu, ia pasti sangat mencemaskan keadaanku. Tapi kali ini, aku enggan menyelami pikirannya.

*****

“Ya Allah, masih panjangkah waktuku untuk bersamanya?”

Baru satu lembar Quran yang kubaca, tapi mataku sudah terasa berat. Biasanya aku akan tersenyum setiap kali kantuk menyergapku, tapi kali ini aku masih enggan untuk terlelap. Kusandarkan tubuhku beralas bantal. Mataku lurus menatap ke luar jendela. Tampak beberapa orang berlalu-lalang di taman. Aku hanya bisa tersenyum hambar menyaksikan mereka.

“Assalamualaikum, Mid...”

Suara yang sangat kukenal terdengar dari arah pintu kamar.

“Waalaikum salam...” kuterima uluran tangan lembut itu.

“Bagaimana kabarmu, Mid?” tanya kak Atik sambil meraih kursi dan duduk di samping tempat tidurku.

Pertanyaan yang klise menurutku. Siapa pun yang melihat kondisiku pasti dapat menebak bagaimana keadaanku.

“Yah, beginilah, Kak.” Kupaksakan untuk tersenyum. Sejenak kak atik mengalihkan pandangannya ke kantong transfusi darah yang menggantung di sebelah kiriku.

“Tangan kananmu bengkak, Mid?”

“Iya, Kak. Mungkin karena aliran darahnya kurang beres,” jawabku sekenanya. Kali ini tangan kiriku yang menjadi sasaran jarum suntik. Kemarin sore perawat mengalihkan jarum suntik dari pergelangan tangan kananku yang entah kenapa tiba-tiba menjadi bengkak.

“Adel mana, Kak?” Lama aku tak melihat bidadari kecil itu. Bola matanya yang bening menyejukkanku setiap kali menatapnya.

“Adel...., Adel kurang enak badan, jadi tidak bisa kakak ajak kemari.”

Aku tahu kak Atik berbohong. Aku tak ingin berpikiran buruk tentang Adel, tapi kalau ingat kejadian minggu lalu aku merasa itu lah kali terakhir aku bisa melihatnya.

“Umi, Adel takut...!!!”

“Tenang Adel, itu amah Hamidah, Adel jangan takut ya...”

Sia-sia saja. Adel memalingkan mukanya seakan tak mau melihatku. Ia menangis dalam pelukan ibunya.

Air mataku menetes. Bidadari kecilku takut padaku. Terlalu burukkah wajahku sekarang sehingga ia begitu ketakutan saat melihatku. Ya Allah, aku tak sanggup jika Adel kecilku menjauh dariku. Ia lah sumber kekuatanku selama ini. Ia sumber inspirasi di setiap tulisan-tulisanku. Cukup sudah suamiku yang kau ambil dariku, jangan lagi Adel kecilku kau jauhkan dariku.

“Kamu tenang dulu ya, Mid, mungkin Adel tadi hanya terkejut melihat keadaanmu yang sekarang. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Bik Ais berusaha menenangkanku. Tak lagi kudengar tangis ketakutan Adel. Kak Atik sudah membawanya keluar dari ruangan yang serba putih ini.

“Mid, kamu kenapa?” sentuhan tangan kak Atik membuyarkan lamunanku.

“Mungkinkah aku tak akan pernah bisa melihat Adel lagi, Kak?”

“Mid, kamu jangan berkata seperti itu. Adel masih kecil, ia belum mengerti apa-apa. Nanti juga ia pasti akan mengerti. Kakak janji akan terus memberi pengertian pada Adel tentang keadaanmu sekarang.”

“Nanti? Waktuku sangat singkat, Kak.”

Aku tahu umur manusia itu rahasia Allah, tapi aku tak bisa menampik kebenaran vonis dokter tentang kemampuanku bertahan dari penyakitku. Kanker stadium 3 telah menggerogoti tubuhku.

“Kakak selalu berdoa untuk kesembuhanmu, Mid. Kamu sabar, ya.” Kutangkap raut sedih di wajah kak atik yang sendu.

*****

Pagi yang basah. Tadi malam hujan deras. Segelas kopi panas beserta sepiring pisang goreng menjadi menu kesukaan suamiku dalam cuaca seperti ini. Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya? Aku merindukannya.

Entah sudah berapa banyak darah yang mengalir ke tubuhku. Hidupku seolah bergantung pada darah-darah itu. Kantong demi kantong sudah tak terhitung lagi buatku. Mataku menatap sayu jarum infus yang masih enggan menjauh dari tangan kiriku. Sakit. Kadang rasa panas menjalar di tubuhku. Mungkin itu pengaruh dari darah yang kuterima yang kusendiri tak tahu asalnya dari tubuh siapa.

Kuraih buku harian merah jambu yang senantiasa kuselipkan di bawah bantal tidurku. Untuk anugerah terindah dalam hidupku. Kubaca lagi sederet kata indah itu. Kubiarkan penaku menari-menari di lembar putihnya. Keluhku hanya bisa kutuangkan di sini tanpa bisa kubagi lagi pada ia yang kurindu.

Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya? Tadi malam, aku mimpi bertemu dengan suamiku. Ia tersenyum sangat manis. Senyum yang sangat kurindukan. Dia melambaikan tangannya padaku. Entah firasat apa ini, aku tak berani menafsirkannya.

*****

“Orang yang menabrakmu dijatuhi hukuman lima tahun penjara, Mid.” Kata bik Ais seraya meletakkan mawar putih di meja samping tempat tidurku. Aku tersenyum melihat bunga cantik itu. Mawar putih yang indah. Suamiku pun juga sangat menyukainya. Ulang tahun pertama pernikahan kami, dia sengaja membeli berpuluh-puluh mawar putih untuk menghias rumah kami yang mungil. Suami yang sangat baik. Aku beruntung memilikinya. Ia yang senantiasa menemaniku melalui hari-hari berjuang melawan leukimia di tubuhku.

“Lima tahun penjara?” kuhela napasku panjang

“Seharusnya lebih dari itu.” Dapat kurasakan kemarahan yang begitu besar dari kata-kata bik Ais barusan. Aku tahu, bik Ais begitu menyayangiku. Sejak kedua orang tuaku meninggal dunia, ia lah yang mengurus aku dan kak Atik. Bagiku, ia lebih dari sekadar pengasuh. Ia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Mungkin itu pula yang dirasakan bik Ais sehingga ia lebih memilih tetap bersama kami daripada mengikuti anak laki-lakinya yang kini bekerja di Pontianak.

Ia yang sudah membuatmu seperti ini, Mid. Ia pula yang membuat suamimu...” Mata bik ais berkaca-kaca.

Aku terdiam. Mataku juga mulai berair. Dadaku sesak. Berbagai perasaan campur aduk di jiwaku. Peristiwa dua minggu yang lalu memang sangat mengerikan. Aku kehilangan suamiku, dan wajahku pun jadi rusak karenanya. Pecahan kaca mobil itu terasa begitu kuat menerpa wajahku. Allahu Akbar! Semuanya gelap. Tak kutahu lagi bagaimana nasib suamiku yang duduk di sampingku. Mungkin ini sudah takdir Allah, dan aku tak harus menyalahkan siapa-siapa.

“Sabar ya, Mid.... Bik ais tahu, cobaan ini begitu berat buatmu.” Bik Ais berusaha menenangkanku.

Bik Ais benar, cobaan ini memang sangat berat. Aku kehilangan suami yang selama ini kuharapkan dapat menemaniku dalam detik-detik terakhirku. Pertarunganku dalam kesendirian melawan penyakit ini terasa sangat melelahkan.

*****

Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya?

Tubuh dan jiwaku sudah sangat penat. Tak lagi dapat kunikmati lalu-lalang orang melalui jendela samping tempat tidurku. Tubuhku sudah terlalu lemah hingga tak sanggup lagi mengikuti gerak orang-orang di luar jendela sana meski hanya melalui tatapan mata. Sakit yang tak mungkin kubagi ini semakin mendera. Jiwaku pun sudah payah menanti waktuku untuk bersamanya.

Laki-laki berpakaian putih itu sudah akrab dalam penglihatanku. Ia yang sering mendatangiku dalam mimpi-mimpiku. Untuk anugerah terindah dalam hidupku. Ternyata ia akan selalu menemaniku. Dalam detik terakhirku, ia bersamaku. Ia tersenyum ke arahku. Sekuntum mawar putih tergengam di tangannya. Waktuku untuk bersamanya ternyata sudah tiba. Inilah saat yang selama ini kunanti. Sempat kulihat bidadari kecilku bersembunyi dalam dekapan ibunya. Biarlah ia tetap seperti itu. Kuharap akan banyak bidadari-bidadari kecil lain yang menemaniku dan orang yang kucintai di sana.

Kertak Hanyar, akhir Juni 2008

INDAHNYA BERBAGI


Aku memeriksa seluruh belanjaanku. Lengkap. Semua bahan yang kuperlukan sudah lengkap di atas meja. Kulirik jam yang menempel di dinding dapur. Pukul 11.30 wita. “Belum saat yang tepat untuk memasak” pikirku.

“Ummi, beduk juhurnya masih lama ya?” Annisa kecilku tiba-tiba sudah ada di sampingku. Matanya yang bulat mendelik lucu.

“Sabar sayang, masih satu jam lagi.” Kuusap kepala puteri kecilku.

“Nisa masih kuatkan?”

“Iya, Ummi. Nisa masih kuat.”

Aku tersenyum. Aku dan suamiku sepakat untuk melatih Annisa untuk berpuasa sedari kecil. Walau ia cuma sanggup berpuasa setengah hari, tak apa. Itu sudah lumayan. Nanti juga dengan bertambahnya usia, Annisa akan kuat berpuasa sehari penuh.

***

Aroma masakan menyeruak memenuhi seisi rumah. Aku tersenyum senang. Hari ini aku sengaja membuat makanan kesukaan suamiku.

“Dari aromanya pasti Ummi masak sop ya?” Dari balik pintu dapur muncul suamiku. Rupanya ia sudah pulang dari tempatnya bekerja. Aku mengangguk.

“Wah, menu berbuka yang istimewa nih…” Suamiku tersenyum senang.

“Ummi tahu, aroma masakannya sampai tercium dari halaman depan.” Lanjut suamiku lagi.

“Masa sih, Bah?”

“Iya, Ummi, Abah tidak bohong.”

***

Sore ini aku tak bisa masak seperti biasa. Tadi siang aku tidak sempat ke pasar. Badan Annisa panas, jadi ia sedikit rewel. Aku tak bisa meninggalkannya. Terpaksa, menu berbuka hari ini harus kubeli dari warung Ramadhan dadakan di ujung komplek.

Kata Bu Ais, tetangga seberang rumahku, banyak masakan yang dijual di sana. Berbagai macam sayur lengkap dengan ikannya tersedia. Kata Bu Ais aku harus cepat-cepat ke sana kalau tidak ingin kehabisan, soalnya pembelinya ramai. Entahlah, ini pertama kalinya aku ke sana. Sampai hari yang kesekian di bulan Ramadhan ini aku tak pernah mengunjungi warung itu. Aku selalu memasak sendiri menu untuk berbuka.

***

Bu Ais benar. Banyak pembeli yang berdatangan ke warung ramadhan ini. Orang-orang mungkin lebih suka membeli makanan siap santap di banding memasaknya sendiri. Seorang anak kecil berpakaian agak lusuh berdiri di pojok warung, tak jauh dari tempatku berdiri. Entah apa yang dilakukannya di sana.

“Hari ini tak ada kuah sisa, Nin,” kata pelayan warung di sela kesibukannya melayani pembeli dengan beraneka pesanan masing-masing. Anak itu berlalu menjauh. Raut wajah kecewa terpancar dari wajahnya.

Nila panggang lengkap dengan lalapan, es kelapa muda beserta bingka kentang, lengkap kubawa dalam bungkusan plastik. Lauk untuk sahur pun tak lupa kubeli.

Meski sudah sore, tapi cuaca masih panas. Alhasil, penjual es pun jadi senang karena dagangannya laku keras.

Kupercepat langkahku. Semoga Nisa tak rewel selama kutinggal ke warung. Kalau tidak, kasihan abahnya.

Langkahku terhenti. Anak kecil yang kulihat di warung tadi ada di sini. “Kenapa dia berdiri di samping rumahku? Jangan-jangan…” Akhir-akhir ini memang sering kudengar ada pencuri yang masuk ke komplek kami. Bahkan dua hari yang lalu rumah bu Ais, tetangga depan rumahku yang kemalingan.

“Astagfirullahaladzim…” Kucoba menghapus prasangka buruk yang muncul dalam pikiranku. Mana mungkin anak sekecil itu pelakunya.

“Sedang apa di sini, Nak?”

“Saya….eh…anu, saya…”

“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” Tanyaku lagi penasaran.

“Saya sedang menunggu bau masakan, Bu…” Anak itu terlihat gugup.

“Menunggu bau masakan? Maksudmu?” Aku tak mengerti arah pembicaraan anak itu.

“Pemilik rumah ini sering memasak makanan yang enak-enak, Bu. Saya senang berdiri di sini, sebab dari sini saya bisa mencium bau masakannya, Bu.”

Aku terdiam, berusaha memahami arah pembicaraan anak itu.

“Ibu saya tak pernah memasak seenak itu, Bu.” Raut sedih terpancar di wajah anak yang sekarang berdiri di hadapanku.

“Kamu sudah merasa puas dengan mencium bau masakan itu?”

Anak itu mengangguk.

“Paling tidak, dengan mencium baunya, saya bisa merasakan kelezatan masakannya.”

“Kata teman saya, kalau bau masakannya enak, pasti rasanya juga enak,” tambah anak itu lagi.

Kutarik napas dalam-dalam. Sama sekali tak pernah terbayangkan olehku kalau ternyata aroma masakanku selama ini begitu berharga untuk anak kecil ini. Masya Allah berdosakah aku, begitu seringnya kuhembuskan aroma masakan di indera penciuman anak ini, tanpa pernah kupersilakan mampir di mulut kecilnya?

“Rumahmu di mana?”

Anak itu mengarahkan telunjuknya ke perumahan kumuh di balik pagar beton pembatas komplek.

“Dekat sekali dari sini, Bu. Kalau saja tak ada pagar tinggi itu, ibu pasti bisa melihat rumah saya dari sini, Bu. Rumah saya persis di belakang rumah ibu.” Kuarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk anak itu. Pagar beton itu seolah mempertegas adanya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.

“Bahkan dengan tetangga dekatku sendiri aku tak peduli.” Hatiku tersayat, perih.

Kulirik arloji di tanganku. Hampir waktu berbuka rupanya.

“Sudah hampir berbuka, ya, Bu?”

Aku mengangguk.

“Yach…rupanya pemilik rumahnya tak memasak hari ini…” Segurat kecewa membias di wajah anak itu.

“Kamu mau, ke mana, Nak?”

“Mau ke mushalla, Bu. Sebentar lagi waktu berbuka, lumayan dapat makanan gratis.”

“Keluargamu?”

“Kami sudah terbiasa berpencar mencari rezeki masing untuk berbuka, soalnya di rumah tak ada makanan.”

Hatiku miris mendengar pengakuan polos anak itu.

***

Kami berempat duduk mengelilingi meja yang sama. Kali ini semua sama, tak ada beda antara si kaya dan si miskin. Ya, seharusnya memang seperti itu, karena baik kaya maupun miskin, semuanya sama di hadapan Allah.

“Bu, ini sayur….”

“Iya, Nin, ini sayur yang sisa kuahnya kamu tunggu tadi sore, tapi sayangnya kuahnya tak bersisa, iya kan?!?!.”

“Alhamdulillah, yang namanya rezeki tidak ke mana ya, Bu.” Nina terlihat begitu menikmati makanan di hadapannya.

Annisa puteri kecilku pun terlihat senang. Tidak seperti biasa, kali ini ia begitu lahap.

“Ka Nina, esok buka puasa di sini saja, biar Nisa ada temannya. Bolehkan Ummi, Abah?”

Aku dan suamiku mengangguk sambil tersenyum.

***

Beberapa makanan sudah kubungkus rapi di dalam kantong plastik. Sebenarnya makanan itu sengaja kubeli untuk sahur kami, tapi tak apa, ‘kan aku bisa memasak sendiri untuk hidangan sahur. Masih ada telur di lemari es. Nina sekeluarga lebih memerlukan makanan ini. Ia terlihat begitu gembira menerimanya, karena esok hari ia sekeluarga tak harus sahur hanya dengan minum air putih seperti sahur-sahur biasanya.

Kami bertiga mengantar kepergian Nina sampai batas pagar. Betapa indahnya berbagi, dan itu benar-benar kurasakan kini. Kapan-kapan aku ingin membagi masakan hasil karyaku sendiri dengannya, bukan sekadar aroma seperti yang dirasakannya selama ini. Semoga masih ada kesempatan lain untukku berbagi, tidak hanya pada Nina yang ini, tapi juga dengan Nina-nina yang lain. yp

Kertak Hanyar, September 2008

COPET

Sekali lagi kuperiksa dompetku. Alhamudulillah masih ada. Sebelum berangkat, ibu selalu berpesan agar aku berhati-hati di jalan, terutama saat dalam bus. Biasanya banyak copet beraksi di sana, terutama saat bus penuh dan para penumpang berdesak-desakan. Itu merupakan lahan empuk bagi para pencopet.
Seorang ibu berperawakan agak gemuk tersenyum kepadaku. Ibu itu duduk persis di sebelah kiriku. Di pangkuannya ada tas besar yang entah isinya apa.
"Adik mau ke mana?" tanya ibu itu.
"Semarang, Bu." sahutku singkat.
Ibu itu tersenyum. Meski sedikit gemuk, tapi ia terlihat cantik. Lagi-lagi pesan ibu terngiang di telingaku.
"kamu harus hati-hati, Rin, jangan lekas percaya pada orang," pesan ibu menjelang keberangkatanku.
"Ingat, Rin, kalau tidak terlalu penting, jangan ngobrol dengan sembarang orang di dalam bus. Ibu takut kalau kamu kena hipnotis nanti," lanjut ibu.
Aku maklum dengan kecemasan ibu yang berlebihan melepas kepergianku. Sebelumnya aku memang tidak pernah pergi sendiri. Kalau pergi ke mana-mana apalagi harus menempuh jarak jauh, selalu ada keluarga atau setidaknya teman yang menyertai. Tapi kali ini aku terpaksa harus berangkat sendiri. Tak ada yang bisa menemaniku. Semuanya sibuk dengan kerjaannya masing-masing.
"Iya, Bu, Ibu tidak usah khawatir," sahutku singkat.

***
Udara sangat panas. Kukipas-kipaskan korang yang ada di tanganku. Lumayan dapat menghadirkan sedikit angin untuk mengusir gerah.
"Mau ngemil, Dik?" Ibu itu menawarkan seungkus kacang goreng kepadaku.
"Tidak, Bu, terima kasih. Saya masih kenyang." Kutolak halus tawaran ibu itu. Aku ingat pesan ibu agar jangan sembarangan menerima tawaran orang untuk makan, sebab obat bius bisa dimasukkan melalui makanan.
"Astagfirullahaladzim...! ucapku lirih. Aku tidak bermaksud untuk berburuk sangka kepada ibu itu, tapi aku hanya sekadar berhati-hati.
Bus berhenti. Ada penumpang yang naik. Seorang laki-laki berambut gondrong dan berpakaian agak lusuh. Sepertinya ia berasal dari golongan kelas bawah. Aku patut curiga dengan orang ini. Keterbatasan ekonomi mungkin saja membuatnya nekat. Hal-hal semacam itu sering aku lihat dalam tayangan kriminal di televisi. Jangan-jangan sasarannya kali ini adalah aku. Ih...aku bergidik. Jantungku berdetak makin cepat saat laki-laki itu memilih duduk tepat di sebelah kananku. Bau keringat menyeruak ke dalam penciumanku.
"Ya Allah, lindungi aku." Kupegang tasku erat-erat. Aku harus hati-hati dengan laki-laki ini.
Sepanjang jalan perasaanku tidak tenang. Rasa hausku pun terpaksa aku tahan. Aku tak berani membuka tasku untuk mengambil air kemasan di dalamnya. Aku takut kalau laki-laki di sampingku tahu segala isi tasku. Kulirik laki-laki gondrong di sebelahku. Ia diam terpaku di tempat duduknya, entah apa yang saat ini dipikirkannya.
Selang beberapa jam bus berhenti. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ia sudah sampai di tempat yang ditujunya.
Aku menarik napas lega. Kuperiksa tak kecilku. Alhamdulillah, dompetku masih ada. Kureguk air kemasan yang kubawa dari rumah. Lumayan untuk mengusir rasa haus yang kutahan sejak tadi.
Kulihat ibu di sebelahku begitu tenang terlelap. Suara bising dari pengamen di dalam bus seolah menjadi nyanyian pengantar tidurnya.
Untuk yang kesekian kalinya bus berhenti lagi. Seorang laki-laki seumuran kakakku masuk. Ia duduk di sebelahku. Pakaiannya bersih, rapi, dan wangi. Ia juga berkaca mata, sama seperti kakakku. Penampilannya sangat berbeda dengan laki-laki berambut gondrong tadi. Dari penampilannya, aku yakin bahwa ia orang baik-baik. Tak ada yang perlu kucurigai dari dia.
"Mau ke Semarang, Mbak?" tanyanya sopan.
"Iya, Mas," sahutku ringan.
"Mas mau ke Semarang juga?" aku balik bertanya.
Laki-laki itu mengangguk.
"Saya mau menjenguk saudara saya di Semarang," katanya.
Aku senang, kali ini aku tidak perlu ketakutan seperti tadi. Aku aman. Kedua orang yang duduk di sebelahku adalah orang baik-baik. Akhirnya aku tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan bersama laki-laki yang baru kukenal itu.
Bus berhenti.
"Permisi, Dik, saya duluan." Rupanya ibu yang duduk di sebelahku sudah sampai di tempat tujuannya. Kugeser tubuhku agar ibu itu bisa lewat. Laki-laki di sebelah kananku pun juga melakukan hal yang sama, memberi jalan agar ibu bertubuh gemuk itu bisa lewat.
Kembali kuperiksa tasku. Aku tersenyum lega. Alhamdulillah dompetku masih ada.
"Kenapa, Mbak?"
"Oh...eh...tidak apa-apa, Mas." Aku tersenyum malu. Rupanya laki-laki itu mengawasiku sejak tadi. Mungkin laki-laki itu heran melihatku yang segera memeriksa tas sepeninggal ibu itu tadi.
"Kita memang harus hati-hati, Mbak, banyak copet di mana-mana." Laki-laki itu seolah dapat menebak jalan pikiranku.
"Kadang pencopet bisa berpura-pura sebagai orang baik dan mereka pun punya banyak cara untuk melancarkan aksinya," lanjut laki-laki itu.
Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sepertinya laki-laki ini tahu banyak hal tentang seluk-beluk copet.
"Ah, mungkin dulunya ia pernah dicopet," ungkapku dalam hati.

***
Angin berhembus masuk melalui jendela bus. Pinggangku terasa sudah mulai penat karena terlalu lama duduk. Kalau saja bus yang kutumpangi ini tidak sering berhenti, sudah sejak tadi aku tiba di Semarang. Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 04.00 WIB. Laki-laki berkaca mata di sebelahku tidur sejak tadi. Mungkin ia kelelahan sehingga tidak sanggup menahan kantuk.
Bus kembali berhenti untuk menaikkan penumpang. Kuharap ini adalah terakhir kalinya bus berhenti sebelum tiba di terminal. Tiga orang penumpang naik. Sepasang suami-isteri yang masih muda beserta anak mereka yang masih balita.
"Mas dan Mbak silakan duduk di sini, biar saya yang berdiri." Naluri kemanusiaanku muncul. Aku tak tega melihat mereka berdiri. Isterinya sedang hamil, sementara anaknya sedang terlelap dalam gendongan ayahnya.
"Terima kasih, Dik." Mereka tersenyum ramah kepadaku. Tak ada yang perlu kucurigai dari mereka.
Alhamdulillah, aku senang, ternyata kekhawatiran ibu tidak terbukti. Tak ada copet ataupun tukang bius di dalam bus yang kutumpangi ini.
Bus sudah memasuki wilayah Semarang. Tak lama lagi kami akan tiba di terminal. Lumayan lelah juga berdiri, tapi tak apalah, sedikit berkorban untuk orang yang lebih memerlukan.
Bus kembali berhenti. Ternyata laki-laki yang tadi menjadi teman ngobrolku beserta satu orang penumpang lainnya turun.
"Saya duluan, Mbak," katanya tergesa. Aku tersenyum.
"Mungkin ia takut kalau busnya kembali jalan, makanya ia buru-buru turun," pikirku. Tak sempat kutangkap senyum puas terpancar dari bibirnya.
Selang beberapa menit kemudian, perlahan bus memasuki terminal. Penumpang berdesakan turun. Kuapit tasku kuat-kuat, tak akan kubiarkan tangan jahil menjarahnya. Kulihat paman Umar dan Annisa sepupu kecilku tersenyum ke arahku. Mereka sengaja menjemputku di terminal.
"Selamat datang di Semarang, Rin," sambut paman Umar. Kucium tangan beliau.
Annisa kecil merengek minta dibelikan es krim. Kuraih tangannya dan berjalan menghampiri penjual es.
"Mas, beli es krimnya satu," pintaku pada penjual es.
"Berapa, Mas?" lanjutku lagi.
"Tiga ribu, Mbak," sahut penjual es krim itu.
Tak dapat kutangkap senyum ceria Annisa saat menerima es krim dari penjualnya karena yang ada semuanya gelap. Baru kusadari ada goresan silet di tasku, dan dompetku entah sudah berpindah ke mana.
***
Kertak Hanyar, Agustus 2008


Wajah Tua Kelabu

Mataku tak lepas memandangi wajah keriput itu. Tangannya begitu gesit menganyam tikar purun. Aku kagum dengannya. Usia senja tak membuatnya putus semangat. Bermodal kemampuannya membuat tikar purun, ia mencoba bertahan untuk hidup. Bukannya tak punya anak, tapi naluri keibuannya membuatnya tak tega membebani mereka. Anak-anaknya juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengannya, mereka juga harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
“Mau bagaimana lagi, Cu, anak-anak Nini juga sama melaratnya seperti Nini.” Katanya sambil mengunyah sirih yang sudah menjadi kebiasaanya.
Aku tersenyum getir.
“Terlalu miskinkah anak-anaknya sehingga untuk merawat ibu yang telah melahirkan mereka saja mereka tak mampu?” rintihku di dalam hati.
Lurus pandanganku menatap ke luar rumah. Tampak hamparan purun yang berderet rapi siap menantang mentari yang begitu terik menerpanya.
“Anak-anak Nini di mana sekarang?”
“Jauh. Ada yang di Kotabaru, Balikpapan, Pontianak, bahkan ada yang merantau ke Sumatera.” Nini ramlah menerawang, entah apa yang ada di benaknya sekarang. Nini Ramlah menarik napas dalam-dalamnya. Guratan di wajahnya seolah mempertegas derita hidup yang harus dilaluinya. Celoteh riang anak-anak yang begitu asyik bermain menghadirkan kenangan masa silam nini Ramlah tentang anak-anaknya.
“Jauh sekali ya, Ni…”
“Di sini sudah sulit mencari kerja, Cu…, apalagi anak-anak nini tak ada yang sekolah tinggi.”
Kucermati kata-katanya. Lapangan kerja sekarang memang sudah semakin sempit, sungguh tak sebanding dengan para pencarinya. Entah bagaimana nasibku kelak. Abah bukan penguasa. Ia hanya pegawai rendahan. Akankah aku sanggup bertahan dalam pergumulan yang miring itu? Masih lekat dalam ingatanku cerita abah tentang pegawai baru di kantornya yang begitu mudah pindah kerja kembali ke tanah asalnya tanpa sempat kerja sehari pun di kantor abah. Permainan apa lagi ini? Abah bilang ini lah jenis nepotisme gaya baru.
Kutemukan lelah yang begitu sangat di wajah keriput perempuan tua yang sekarang duduk di hadapanku. Kasihan nini Ramlah, setua ini masih harus bekerja. Mengecap kebahagiaan berkumpul bersama anak dan cucu sepertinya hanya bisa hadir di mimpinya.
“Diminum dulu airnya, Cu.”
“Alhamdulillah…”
Segelas air ini terasa begitu sejuk membasahi kerongkonganku yang kering. Kutatap lagi wajah tua di hadapanku. Ia masih asyik dengan anyaman tikar purunnya. Sesekali ia membuang sapah di mulutnya pada peludahan di sampingnya. Warna merah gambir menghiasi bibir tuanya.
“Ada pesanan ya, Ni?” Kucoba mengusir keheningan.
Nini Ramlah mengangguk.
“Iya, Cu, ada pesanan dari bu Haji, tikar purun untuk alas sajadah,” katanya dengan mata berbinar.
“Pasti di bayar mahal ya, Ni, untuk pesanan khusus?”
“Alhamdulillah cukup untuk makan, Cu. Lagi pula, yang namanya rezeki dari Allah, banyak atau pun sedikit, wajib kita syukuri.”
Aku kagum dengannya. Kesempitan hidup tak membuatnya lupa untuk bersyukur.
***
Terik matahari masih enggan bersahabat dengan orang-orang yang melintas di jalan. Berdesakan di dalam mikrolet membuat tubuhku semakin gerah. Seorang pengemis mengulurkan tangannya dari balik jendela mikrolet yang sedang berhenti di lampu merah. Kuhela napas panjang. Ia masih muda, tapi penampilannya sengaja dipoles sedemikian rupa untuk menarik belas kasihan orang lain. Kemalasan, inilah salah satu potret buram negeri ini.
Terbayang wajah tua kelabu yang entah apakah masih asyik dengan anyaman tikar purunnya. Sudah hampir dua bulan aku tidak menemuinya. Hari-hariku disibukkan dengan setumpuk data yang siap diolah. Skripsiku telah rampung. Aku berhutang jasa kepada perempuan tua yang jadi narasumberku itu. Sengaja aku menjadikan nini Ramlah sebagai narasumberku, sebab kutahu ia sangat menguasai seluk-beluk tikar purun yang kujadikan objek penelitianku. Cepatnya arus perkembangan zaman menjadikan keterampilan yang satu ini hampir punah. Aku tertarik untuk mengangkatnya kembali. Sekarang sangat jarang kutemukan tikar purun terhampar di lantai rumah. Yang ada juga karpet, atau paling tidak tikar plastik.
“Assalamualaikum, Ni...” Hari ini nini Ramlah terlihat lain dari biasanya. Tak ada anyaman tikar purun di tangannya.
“Waalaikumussalam, Cu..., silakan masuk.” Nini Ramlah terlihat kaget dengan kedatanganku. Mungkin ia tidak menyangka kalau hari ini aku akan ke rumahnya.
Kucium tangan keriputnya.
“Apa kabar, Ni?” Aku mencoba berbasa-basi.
“Alhamdulillah, baik, Cu.”
Kuletakkan sebungkus pisang goreng yang kubeli di jalan tadi. Seperti biasa, nini Ramlah pun menyuguhi aku secangkir air bening yang begitu sejuk membasahi kerongkonganku yang kering.
“Tikarnya mana, Ni?”
Mataku menjelajah ke setiap sudut ruangan, tapi tak kutemukan anyaman-anyaman itu.
“Apa yang mau dibuat anyaman, Cu, purun-purunnya sudah tidak ada lagi...”
“Maksud Nini?”
Nini ramlah menarik napas dalam. Kebisuan begitu kuat bertahta di antara kami. Wajahnya tak seceria tadi. Kutangkap bias kesedihan yang begitu dalam dari wajahnya.
“Semua warga telah sepakat, mau tak mau nini juga harus ikut...”
Ingatanku melayang pada spanduk besar yang terpampang di pinggir jalan tadi.
“Benarkah nini Ramlah harus ikut pergi dari tanah kelahirannya demi toleransi dengan orang-orang di sekitarnya yang telah tergiur dengan setumpuk uang yang ditawarkan pada mereka?” gumamku lirih.
Satu lagi cerita asli tentang negeri ini akan tergantikan. Sawah, rumah papan, dan padang purun akan disulap entah jadi apa. Tak ada yang bisa kulakukan, bahkan sekadar mengusir kesedihan yang melingkupi nini Ramlah.
Nini Ramlah beranjak dari duduknya. Kakinya tak lagi gesit menopang tubuh rentanya. Kupapah tubuh tuanya menuruni anak tangga yang tak seberapa tinggi.
“Panas, Ni.” Selembar kertas koran kuletakkan sejajar di atas kepalanya. Sekadar menghalau panas yang sangat menyengat.
“Tak apa, Cu, Nini sudah terbiasa dengan panas.” Nini Ramlah tersenyum hambar.
Pandangannya lurus menatap padang purun yang sebagian purun-purunnya sudah ditebas habis. Aku tak mengerti apa yang sekarang sedang bermain di benaknya. Aku hanya bisa menangkap raut kesedihan yang teramat sangat dari wajah tuanya. Tubuhnya masih tetap mematung seakan tak peduli dengan sengatan matahari.
“Upik, Ujang, Fahri, ayo naik, sebentar lagi Magrib!”
Perempuan itu menggelengkan kepala melihat kelakuan ketiga anaknya.
“Segera mandi lalu pergi ke mushalla. Abahmu sudah pergi duluan.”
Ketiganya masuk ke dalam rumah sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke rambut mereka yang dipenuhi serpihan buah purun.
“Ma, habis Magrib nanti Rahmah akan belajar ngaji di rumah acil ipit, ya?”
Gadis kecil berjilbab putih muncul dari balik pintu kamar. Dengan takzim diciumnya tangan ibunya.
“Hati-hati di jalan, Mah, selesai Isya langsung pulang ke rumah, ya...”
Rahmah mengangguk. Ia berlari-lari kecil menuju mushalla arah utara desa. Ramlah mengantarkan kepergian anaknya sampai pintu rumah. Diusapnya perutnya yang membuncit.
“Semoga kelak kamu juga akan jadi anak yang saleh, Nak,” gumamnya lirih pada janin yang ada dalam kandungannya.
“Ni, sebaiknya kita kembali ke rumah, kasihan Nini sudah terlalu lama berdiri di sini.” Kupegang tangan kurusnya. Nini Ramlah terperanjat, sepertinya ia baru sadar dari alam hayalnya yang entah menceritakan tentang apa.
“Allah mungkin sudah mempersiapkan rencana lain yang lebih baik untuk Nini, daripada sekadar menghabiskan hari tua dengan menganyam tikar purun,” kata nini Ramlah seolah mencoba berdamai dengan kemelut yang melanda hatinya.

***

“TAMAN PESONA INDAH.” Gerbang itu begitu megah dan telah menyulap daerah pinggiran ini menjadi kota yang ramai. Tak ada tikar purun di sini, karena yang ada hanya karpet warna-warni. Tak ada bakul purun, karena kantong-kantong plastik telah siap mengganti posisinya. Kutarik napas dalam-dalam. Entah di mana nini Ramlah sekarang. Aku kehilangan jejaknya semenjak transaksi jual beli permukiman itu terjadi. Mungkin ia akan terkejut jika tahu di atas tanahnya telah berdiri sebuah rumah mewah dan tentunya tanpa tikar purun di dalamnya.
Aku berdiri mematung. Rumah ini dibeli suamiku tujuh bulan yang lalu dari rekan bisnisnya yang pindah ke kota lain. Sesosok bayangan renta menari-nari dalam ingatanku. Beberapa tahun yang lalu, aku dan sesosok tubuh renta itu pernah berdiri di sini memandang padang purun yang sebagian purunnya sudah di tebas habis. oo