
Islam Graphic Comments
Belajar menulis walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana
Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya?
Kututup lembar kesekian dari buku harian merah jambu yang ada di tanganku. Sekilas mataku masih sempat menangkap sederet kata cinta di halaman depan diari itu. Untuk anugerah terindah dalam hidupku. Entah ini kali yang keberapa aku begitu tersanjung membaca kata-kata itu.
“Mid, makan dulu, nanti masuk angin.”
Suara lembut bik Ais membuyarkan lamunanku. Sepiring bubur lengkap dengan satu gelas susu yang barusan diantar perawat rumah sakit diletakkannya di atas meja kecil di tempat tidurku.
“Terima kasih, Bik”
Senyum tulus mengembang dari bibirnya.
“Bisa makan sendiri?” Bik Ais berusaha meyakinkan
“Bisa, Bik,” jawabku singkat.
Menu harian yang sudah membuatku jemu. Kusendokkan bubur itu perlahan ke mulutku. Hangat. Dapat kurasakan bik Ais yang terus mengawasiku.
Sekilas kulihat tetesan air bening yang merembes dari matanya. Kutahu, ia pasti sangat mencemaskan keadaanku. Tapi kali ini, aku enggan menyelami pikirannya.
*****
“Ya Allah, masih panjangkah waktuku untuk bersamanya?”
Baru satu lembar Quran yang kubaca, tapi mataku sudah terasa berat. Biasanya aku akan tersenyum setiap kali kantuk menyergapku, tapi kali ini aku masih enggan untuk terlelap. Kusandarkan tubuhku beralas bantal. Mataku lurus menatap ke luar jendela. Tampak beberapa orang berlalu-lalang di taman. Aku hanya bisa tersenyum hambar menyaksikan mereka.
“Assalamualaikum, Mid...”
Suara yang sangat kukenal terdengar dari arah pintu kamar.
“Waalaikum salam...” kuterima uluran tangan lembut itu.
“Bagaimana kabarmu, Mid?” tanya kak Atik sambil meraih kursi dan duduk di samping tempat tidurku.
Pertanyaan yang klise menurutku. Siapa pun yang melihat kondisiku pasti dapat menebak bagaimana keadaanku.
“Yah, beginilah, Kak.” Kupaksakan untuk tersenyum. Sejenak kak atik mengalihkan pandangannya ke kantong transfusi darah yang menggantung di sebelah kiriku.
“Tangan kananmu bengkak, Mid?”
“Iya, Kak. Mungkin karena aliran darahnya kurang beres,” jawabku sekenanya. Kali ini tangan kiriku yang menjadi sasaran jarum suntik. Kemarin sore perawat mengalihkan jarum suntik dari pergelangan tangan kananku yang entah kenapa tiba-tiba menjadi bengkak.
“Adel mana, Kak?” Lama aku tak melihat bidadari kecil itu. Bola matanya yang bening menyejukkanku setiap kali menatapnya.
“Adel...., Adel kurang enak badan, jadi tidak bisa kakak ajak kemari.”
Aku tahu kak Atik berbohong. Aku tak ingin berpikiran buruk tentang Adel, tapi kalau ingat kejadian minggu lalu aku merasa itu lah kali terakhir aku bisa melihatnya.
“Umi, Adel takut...!!!”
“Tenang Adel, itu amah Hamidah, Adel jangan takut ya...”
Sia-sia saja. Adel memalingkan mukanya seakan tak mau melihatku. Ia menangis dalam pelukan ibunya.
Air mataku menetes. Bidadari kecilku takut padaku. Terlalu burukkah wajahku sekarang sehingga ia begitu ketakutan saat melihatku. Ya Allah, aku tak sanggup jika Adel kecilku menjauh dariku. Ia lah sumber kekuatanku selama ini. Ia sumber inspirasi di setiap tulisan-tulisanku. Cukup sudah suamiku yang kau ambil dariku, jangan lagi Adel kecilku kau jauhkan dariku.
“Kamu tenang dulu ya, Mid, mungkin Adel tadi hanya terkejut melihat keadaanmu yang sekarang. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” Bik Ais berusaha menenangkanku. Tak lagi kudengar tangis ketakutan Adel. Kak Atik sudah membawanya keluar dari ruangan yang serba putih ini.
“Mid, kamu kenapa?” sentuhan tangan kak Atik membuyarkan lamunanku.
“Mungkinkah aku tak akan pernah bisa melihat Adel lagi, Kak?”
“Mid, kamu jangan berkata seperti itu. Adel masih kecil, ia belum mengerti apa-apa. Nanti juga ia pasti akan mengerti. Kakak janji akan terus memberi pengertian pada Adel tentang keadaanmu sekarang.”
“Nanti? Waktuku sangat singkat, Kak.”
Aku tahu umur manusia itu rahasia Allah, tapi aku tak bisa menampik kebenaran vonis dokter tentang kemampuanku bertahan dari penyakitku. Kanker stadium 3 telah menggerogoti tubuhku.
“Kakak selalu berdoa untuk kesembuhanmu, Mid. Kamu sabar, ya.” Kutangkap raut sedih di wajah kak atik yang sendu.
*****
Pagi yang basah. Tadi malam hujan deras. Segelas kopi panas beserta sepiring pisang goreng menjadi menu kesukaan suamiku dalam cuaca seperti ini. Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya? Aku merindukannya.
Entah sudah berapa banyak darah yang mengalir ke tubuhku. Hidupku seolah bergantung pada darah-darah itu. Kantong demi kantong sudah tak terhitung lagi buatku. Mataku menatap sayu jarum infus yang masih enggan menjauh dari tangan kiriku. Sakit. Kadang rasa panas menjalar di tubuhku. Mungkin itu pengaruh dari darah yang kuterima yang kusendiri tak tahu asalnya dari tubuh siapa.
Kuraih buku harian merah jambu yang senantiasa kuselipkan di bawah bantal tidurku. Untuk anugerah terindah dalam hidupku. Kubaca lagi sederet kata indah itu. Kubiarkan penaku menari-menari di lembar putihnya. Keluhku hanya bisa kutuangkan di sini tanpa bisa kubagi lagi pada ia yang kurindu.
Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya? Tadi malam, aku mimpi bertemu dengan suamiku. Ia tersenyum sangat manis. Senyum yang sangat kurindukan. Dia melambaikan tangannya padaku. Entah firasat apa ini, aku tak berani menafsirkannya.
*****
“Orang yang menabrakmu dijatuhi hukuman lima tahun penjara, Mid.” Kata bik Ais seraya meletakkan mawar putih di meja samping tempat tidurku. Aku tersenyum melihat bunga cantik itu. Mawar putih yang indah. Suamiku pun juga sangat menyukainya. Ulang tahun pertama pernikahan kami, dia sengaja membeli berpuluh-puluh mawar putih untuk menghias rumah kami yang mungil. Suami yang sangat baik. Aku beruntung memilikinya. Ia yang senantiasa menemaniku melalui hari-hari berjuang melawan leukimia di tubuhku.
“Lima tahun penjara?” kuhela napasku panjang
“Seharusnya lebih dari itu.” Dapat kurasakan kemarahan yang begitu besar dari kata-kata bik Ais barusan. Aku tahu, bik Ais begitu menyayangiku. Sejak kedua orang tuaku meninggal dunia, ia lah yang mengurus aku dan kak Atik. Bagiku, ia lebih dari sekadar pengasuh. Ia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Mungkin itu pula yang dirasakan bik Ais sehingga ia lebih memilih tetap bersama kami daripada mengikuti anak laki-lakinya yang kini bekerja di Pontianak.
Ia yang sudah membuatmu seperti ini, Mid. Ia pula yang membuat suamimu...” Mata bik ais berkaca-kaca.
Aku terdiam. Mataku juga mulai berair. Dadaku sesak. Berbagai perasaan campur aduk di jiwaku. Peristiwa dua minggu yang lalu memang sangat mengerikan. Aku kehilangan suamiku, dan wajahku pun jadi rusak karenanya. Pecahan kaca mobil itu terasa begitu kuat menerpa wajahku. Allahu Akbar! Semuanya gelap. Tak kutahu lagi bagaimana nasib suamiku yang duduk di sampingku. Mungkin ini sudah takdir Allah, dan aku tak harus menyalahkan siapa-siapa.
“Sabar ya, Mid.... Bik ais tahu, cobaan ini begitu berat buatmu.” Bik Ais berusaha menenangkanku.
Bik Ais benar, cobaan ini memang sangat berat. Aku kehilangan suami yang selama ini kuharapkan dapat menemaniku dalam detik-detik terakhirku. Pertarunganku dalam kesendirian melawan penyakit ini terasa sangat melelahkan.
*****
Masih panjangkah waktuku untuk bersamanya?
Tubuh dan jiwaku sudah sangat penat. Tak lagi dapat kunikmati lalu-lalang orang melalui jendela samping tempat tidurku. Tubuhku sudah terlalu lemah hingga tak sanggup lagi mengikuti gerak orang-orang di luar jendela sana meski hanya melalui tatapan mata. Sakit yang tak mungkin kubagi ini semakin mendera. Jiwaku pun sudah payah menanti waktuku untuk bersamanya.
Laki-laki berpakaian putih itu sudah akrab dalam penglihatanku. Ia yang sering mendatangiku dalam mimpi-mimpiku. Untuk anugerah terindah dalam hidupku. Ternyata ia akan selalu menemaniku. Dalam detik terakhirku, ia bersamaku. Ia tersenyum ke arahku. Sekuntum mawar putih tergengam di tangannya. Waktuku untuk bersamanya ternyata sudah tiba. Inilah saat yang selama ini kunanti. Sempat kulihat bidadari kecilku bersembunyi dalam dekapan ibunya. Biarlah ia tetap seperti itu. Kuharap akan banyak bidadari-bidadari kecil lain yang menemaniku dan orang yang kucintai di sana.
Kertak Hanyar, akhir Juni 2008
Aku memeriksa seluruh belanjaanku. Lengkap. Semua bahan yang kuperlukan sudah lengkap di atas meja. Kulirik jam yang menempel di dinding dapur. Pukul 11.30 wita. “Belum saat yang tepat untuk memasak” pikirku.
“Ummi, beduk juhurnya masih lama ya?” Annisa kecilku tiba-tiba sudah ada di sampingku. Matanya yang bulat mendelik lucu.
“Sabar sayang, masih satu jam lagi.” Kuusap kepala puteri kecilku.
“Nisa masih kuatkan?”
“Iya, Ummi. Nisa masih kuat.”
Aku tersenyum. Aku dan suamiku sepakat untuk melatih Annisa untuk berpuasa sedari kecil. Walau ia cuma sanggup berpuasa setengah hari, tak apa. Itu sudah lumayan. Nanti juga dengan bertambahnya usia, Annisa akan kuat berpuasa sehari penuh.
***
Aroma masakan menyeruak memenuhi seisi rumah. Aku tersenyum senang. Hari ini aku sengaja membuat makanan kesukaan suamiku.
“Dari aromanya pasti Ummi masak sop ya?” Dari balik pintu dapur muncul suamiku. Rupanya ia sudah pulang dari tempatnya bekerja. Aku mengangguk.
“Wah, menu berbuka yang istimewa nih…” Suamiku tersenyum senang.
“Ummi tahu, aroma masakannya sampai tercium dari halaman depan.” Lanjut suamiku lagi.
“Masa sih, Bah?”
“Iya, Ummi, Abah tidak bohong.”
***
Sore ini aku tak bisa masak seperti biasa. Tadi siang aku tidak sempat ke pasar. Badan Annisa panas, jadi ia sedikit rewel. Aku tak bisa meninggalkannya. Terpaksa, menu berbuka hari ini harus kubeli dari warung Ramadhan dadakan di ujung komplek.
Kata Bu Ais, tetangga seberang rumahku, banyak masakan yang dijual di sana. Berbagai macam sayur lengkap dengan ikannya tersedia. Kata Bu Ais aku harus cepat-cepat ke sana kalau tidak ingin kehabisan, soalnya pembelinya ramai. Entahlah, ini pertama kalinya aku ke sana. Sampai hari yang kesekian di bulan Ramadhan ini aku tak pernah mengunjungi warung itu. Aku selalu memasak sendiri menu untuk berbuka.
***
Bu Ais benar. Banyak pembeli yang berdatangan ke warung ramadhan ini. Orang-orang mungkin lebih suka membeli makanan siap santap di banding memasaknya sendiri. Seorang anak kecil berpakaian agak lusuh berdiri di pojok warung, tak jauh dari tempatku berdiri. Entah apa yang dilakukannya di sana.
“Hari ini tak ada kuah sisa, Nin,” kata pelayan warung di sela kesibukannya melayani pembeli dengan beraneka pesanan masing-masing. Anak itu berlalu menjauh. Raut wajah kecewa terpancar dari wajahnya.
Nila panggang lengkap dengan lalapan, es kelapa muda beserta bingka kentang, lengkap kubawa dalam bungkusan plastik. Lauk untuk sahur pun tak lupa kubeli.
Meski sudah sore, tapi cuaca masih panas. Alhasil, penjual es pun jadi senang karena dagangannya laku keras.
Kupercepat langkahku. Semoga Nisa tak rewel selama kutinggal ke warung. Kalau tidak, kasihan abahnya.
Langkahku terhenti. Anak kecil yang kulihat di warung tadi ada di sini. “Kenapa dia berdiri di samping rumahku? Jangan-jangan…” Akhir-akhir ini memang sering kudengar ada pencuri yang masuk ke komplek kami. Bahkan dua hari yang lalu rumah bu Ais, tetangga depan rumahku yang kemalingan.
“Astagfirullahaladzim…” Kucoba menghapus prasangka buruk yang muncul dalam pikiranku. Mana mungkin anak sekecil itu pelakunya.
“Sedang apa di sini, Nak?”
“Saya….eh…anu, saya…”
“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” Tanyaku lagi penasaran.
“Saya sedang menunggu bau masakan, Bu…” Anak itu terlihat gugup.
“Menunggu bau masakan? Maksudmu?” Aku tak mengerti arah pembicaraan anak itu.
“Pemilik rumah ini sering memasak makanan yang enak-enak, Bu. Saya senang berdiri di sini, sebab dari sini saya bisa mencium bau masakannya, Bu.”
Aku terdiam, berusaha memahami arah pembicaraan anak itu.
“Ibu saya tak pernah memasak seenak itu, Bu.” Raut sedih terpancar di wajah anak yang sekarang berdiri di hadapanku.
“Kamu sudah merasa puas dengan mencium bau masakan itu?”
Anak itu mengangguk.
“Paling tidak, dengan mencium baunya, saya bisa merasakan kelezatan masakannya.”
“Kata teman saya, kalau bau masakannya enak, pasti rasanya juga enak,” tambah anak itu lagi.
Kutarik napas dalam-dalam. Sama sekali tak pernah terbayangkan olehku kalau ternyata aroma masakanku selama ini begitu berharga untuk anak kecil ini. Masya Allah berdosakah aku, begitu seringnya kuhembuskan aroma masakan di indera penciuman anak ini, tanpa pernah kupersilakan mampir di mulut kecilnya?
“Rumahmu di mana?”
Anak itu mengarahkan telunjuknya ke perumahan kumuh di balik pagar beton pembatas komplek.
“Dekat sekali dari sini, Bu. Kalau saja tak ada pagar tinggi itu, ibu pasti bisa melihat rumah saya dari sini, Bu. Rumah saya persis di belakang rumah ibu.” Kuarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk anak itu. Pagar beton itu seolah mempertegas adanya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
“Bahkan dengan tetangga dekatku sendiri aku tak peduli.” Hatiku tersayat, perih.
Kulirik arloji di tanganku. Hampir waktu berbuka rupanya.
“Sudah hampir berbuka, ya, Bu?”
Aku mengangguk.
“Yach…rupanya pemilik rumahnya tak memasak hari ini…” Segurat kecewa membias di wajah anak itu.
“Kamu mau, ke mana, Nak?”
“Mau ke mushalla, Bu. Sebentar lagi waktu berbuka, lumayan dapat makanan gratis.”
“Keluargamu?”
“Kami sudah terbiasa berpencar mencari rezeki masing untuk berbuka, soalnya di rumah tak ada makanan.”
Hatiku miris mendengar pengakuan polos anak itu.
***
Kami berempat duduk mengelilingi meja yang sama. Kali ini semua sama, tak ada beda antara si kaya dan si miskin. Ya, seharusnya memang seperti itu, karena baik kaya maupun miskin, semuanya sama di hadapan Allah.
“Bu, ini sayur….”
“Iya, Nin, ini sayur yang sisa kuahnya kamu tunggu tadi sore, tapi sayangnya kuahnya tak bersisa, iya kan?!?!.”
“Alhamdulillah, yang namanya rezeki tidak ke mana ya, Bu.” Nina terlihat begitu menikmati makanan di hadapannya.
Annisa puteri kecilku pun terlihat senang. Tidak seperti biasa, kali ini ia begitu lahap.
“Ka Nina, esok buka puasa di sini saja, biar Nisa ada temannya. Bolehkan Ummi, Abah?”
Aku dan suamiku mengangguk sambil tersenyum.
***
Beberapa makanan sudah kubungkus rapi di dalam kantong plastik. Sebenarnya makanan itu sengaja kubeli untuk sahur kami, tapi tak apa, ‘kan aku bisa memasak sendiri untuk hidangan sahur. Masih ada telur di lemari es. Nina sekeluarga lebih memerlukan makanan ini. Ia terlihat begitu gembira menerimanya, karena esok hari ia sekeluarga tak harus sahur hanya dengan minum air putih seperti sahur-sahur biasanya.
Kami bertiga mengantar kepergian Nina sampai batas pagar. Betapa indahnya berbagi, dan itu benar-benar kurasakan kini. Kapan-kapan aku ingin membagi masakan hasil karyaku sendiri dengannya, bukan sekadar aroma seperti yang dirasakannya selama ini. Semoga masih ada kesempatan lain untukku berbagi, tidak hanya pada Nina yang ini, tapi juga dengan Nina-nina yang lain. yp
Kertak Hanyar, September 2008