Senin, 03 November 2008

INDAHNYA BERBAGI


Aku memeriksa seluruh belanjaanku. Lengkap. Semua bahan yang kuperlukan sudah lengkap di atas meja. Kulirik jam yang menempel di dinding dapur. Pukul 11.30 wita. “Belum saat yang tepat untuk memasak” pikirku.

“Ummi, beduk juhurnya masih lama ya?” Annisa kecilku tiba-tiba sudah ada di sampingku. Matanya yang bulat mendelik lucu.

“Sabar sayang, masih satu jam lagi.” Kuusap kepala puteri kecilku.

“Nisa masih kuatkan?”

“Iya, Ummi. Nisa masih kuat.”

Aku tersenyum. Aku dan suamiku sepakat untuk melatih Annisa untuk berpuasa sedari kecil. Walau ia cuma sanggup berpuasa setengah hari, tak apa. Itu sudah lumayan. Nanti juga dengan bertambahnya usia, Annisa akan kuat berpuasa sehari penuh.

***

Aroma masakan menyeruak memenuhi seisi rumah. Aku tersenyum senang. Hari ini aku sengaja membuat makanan kesukaan suamiku.

“Dari aromanya pasti Ummi masak sop ya?” Dari balik pintu dapur muncul suamiku. Rupanya ia sudah pulang dari tempatnya bekerja. Aku mengangguk.

“Wah, menu berbuka yang istimewa nih…” Suamiku tersenyum senang.

“Ummi tahu, aroma masakannya sampai tercium dari halaman depan.” Lanjut suamiku lagi.

“Masa sih, Bah?”

“Iya, Ummi, Abah tidak bohong.”

***

Sore ini aku tak bisa masak seperti biasa. Tadi siang aku tidak sempat ke pasar. Badan Annisa panas, jadi ia sedikit rewel. Aku tak bisa meninggalkannya. Terpaksa, menu berbuka hari ini harus kubeli dari warung Ramadhan dadakan di ujung komplek.

Kata Bu Ais, tetangga seberang rumahku, banyak masakan yang dijual di sana. Berbagai macam sayur lengkap dengan ikannya tersedia. Kata Bu Ais aku harus cepat-cepat ke sana kalau tidak ingin kehabisan, soalnya pembelinya ramai. Entahlah, ini pertama kalinya aku ke sana. Sampai hari yang kesekian di bulan Ramadhan ini aku tak pernah mengunjungi warung itu. Aku selalu memasak sendiri menu untuk berbuka.

***

Bu Ais benar. Banyak pembeli yang berdatangan ke warung ramadhan ini. Orang-orang mungkin lebih suka membeli makanan siap santap di banding memasaknya sendiri. Seorang anak kecil berpakaian agak lusuh berdiri di pojok warung, tak jauh dari tempatku berdiri. Entah apa yang dilakukannya di sana.

“Hari ini tak ada kuah sisa, Nin,” kata pelayan warung di sela kesibukannya melayani pembeli dengan beraneka pesanan masing-masing. Anak itu berlalu menjauh. Raut wajah kecewa terpancar dari wajahnya.

Nila panggang lengkap dengan lalapan, es kelapa muda beserta bingka kentang, lengkap kubawa dalam bungkusan plastik. Lauk untuk sahur pun tak lupa kubeli.

Meski sudah sore, tapi cuaca masih panas. Alhasil, penjual es pun jadi senang karena dagangannya laku keras.

Kupercepat langkahku. Semoga Nisa tak rewel selama kutinggal ke warung. Kalau tidak, kasihan abahnya.

Langkahku terhenti. Anak kecil yang kulihat di warung tadi ada di sini. “Kenapa dia berdiri di samping rumahku? Jangan-jangan…” Akhir-akhir ini memang sering kudengar ada pencuri yang masuk ke komplek kami. Bahkan dua hari yang lalu rumah bu Ais, tetangga depan rumahku yang kemalingan.

“Astagfirullahaladzim…” Kucoba menghapus prasangka buruk yang muncul dalam pikiranku. Mana mungkin anak sekecil itu pelakunya.

“Sedang apa di sini, Nak?”

“Saya….eh…anu, saya…”

“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” Tanyaku lagi penasaran.

“Saya sedang menunggu bau masakan, Bu…” Anak itu terlihat gugup.

“Menunggu bau masakan? Maksudmu?” Aku tak mengerti arah pembicaraan anak itu.

“Pemilik rumah ini sering memasak makanan yang enak-enak, Bu. Saya senang berdiri di sini, sebab dari sini saya bisa mencium bau masakannya, Bu.”

Aku terdiam, berusaha memahami arah pembicaraan anak itu.

“Ibu saya tak pernah memasak seenak itu, Bu.” Raut sedih terpancar di wajah anak yang sekarang berdiri di hadapanku.

“Kamu sudah merasa puas dengan mencium bau masakan itu?”

Anak itu mengangguk.

“Paling tidak, dengan mencium baunya, saya bisa merasakan kelezatan masakannya.”

“Kata teman saya, kalau bau masakannya enak, pasti rasanya juga enak,” tambah anak itu lagi.

Kutarik napas dalam-dalam. Sama sekali tak pernah terbayangkan olehku kalau ternyata aroma masakanku selama ini begitu berharga untuk anak kecil ini. Masya Allah berdosakah aku, begitu seringnya kuhembuskan aroma masakan di indera penciuman anak ini, tanpa pernah kupersilakan mampir di mulut kecilnya?

“Rumahmu di mana?”

Anak itu mengarahkan telunjuknya ke perumahan kumuh di balik pagar beton pembatas komplek.

“Dekat sekali dari sini, Bu. Kalau saja tak ada pagar tinggi itu, ibu pasti bisa melihat rumah saya dari sini, Bu. Rumah saya persis di belakang rumah ibu.” Kuarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk anak itu. Pagar beton itu seolah mempertegas adanya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.

“Bahkan dengan tetangga dekatku sendiri aku tak peduli.” Hatiku tersayat, perih.

Kulirik arloji di tanganku. Hampir waktu berbuka rupanya.

“Sudah hampir berbuka, ya, Bu?”

Aku mengangguk.

“Yach…rupanya pemilik rumahnya tak memasak hari ini…” Segurat kecewa membias di wajah anak itu.

“Kamu mau, ke mana, Nak?”

“Mau ke mushalla, Bu. Sebentar lagi waktu berbuka, lumayan dapat makanan gratis.”

“Keluargamu?”

“Kami sudah terbiasa berpencar mencari rezeki masing untuk berbuka, soalnya di rumah tak ada makanan.”

Hatiku miris mendengar pengakuan polos anak itu.

***

Kami berempat duduk mengelilingi meja yang sama. Kali ini semua sama, tak ada beda antara si kaya dan si miskin. Ya, seharusnya memang seperti itu, karena baik kaya maupun miskin, semuanya sama di hadapan Allah.

“Bu, ini sayur….”

“Iya, Nin, ini sayur yang sisa kuahnya kamu tunggu tadi sore, tapi sayangnya kuahnya tak bersisa, iya kan?!?!.”

“Alhamdulillah, yang namanya rezeki tidak ke mana ya, Bu.” Nina terlihat begitu menikmati makanan di hadapannya.

Annisa puteri kecilku pun terlihat senang. Tidak seperti biasa, kali ini ia begitu lahap.

“Ka Nina, esok buka puasa di sini saja, biar Nisa ada temannya. Bolehkan Ummi, Abah?”

Aku dan suamiku mengangguk sambil tersenyum.

***

Beberapa makanan sudah kubungkus rapi di dalam kantong plastik. Sebenarnya makanan itu sengaja kubeli untuk sahur kami, tapi tak apa, ‘kan aku bisa memasak sendiri untuk hidangan sahur. Masih ada telur di lemari es. Nina sekeluarga lebih memerlukan makanan ini. Ia terlihat begitu gembira menerimanya, karena esok hari ia sekeluarga tak harus sahur hanya dengan minum air putih seperti sahur-sahur biasanya.

Kami bertiga mengantar kepergian Nina sampai batas pagar. Betapa indahnya berbagi, dan itu benar-benar kurasakan kini. Kapan-kapan aku ingin membagi masakan hasil karyaku sendiri dengannya, bukan sekadar aroma seperti yang dirasakannya selama ini. Semoga masih ada kesempatan lain untukku berbagi, tidak hanya pada Nina yang ini, tapi juga dengan Nina-nina yang lain. yp

Kertak Hanyar, September 2008

Tidak ada komentar: